Mahasiswa ilmu komputer Unniversitas A.R Fachruddin
Tantangan Mahasiswa dalam Menulis Karya Ilmiah
Sabtu, 2 Agustus 2025 21:05 WIB
Ada enam tantangan utama, yakni rendahnya literasi akademik, kesulitan memahami kaidah penulisan ilmiah, plagiarisme.
Pendahuluan
Dalam dunia akademik, karya ilmiah merupakan manifestasi intelektual mahasiswa yang mencerminkan daya pikir kritis, logis, dan sistematis. Sayangnya, tidak semua mahasiswa mampu menuntaskan proses menulis karya ilmiah dengan baik. Tantangan-tantangan pun muncul, dari yang bersifat teknis seperti tata bahasa dan struktur penulisan, hingga yang bersifat psikologis seperti rasa malas dan takut salah. Hal ini membuat penulisan karya ilmiah menjadi momok tersendiri, padahal sejatinya ia adalah batu loncatan menuju kedewasaan akademik.
Menulis bukan sekadar merangkai kata. Ia adalah aktivitas berpikir. Dalam konteks ilmiah, menulis menjadi alat untuk menjelaskan gagasan, mendokumentasikan penelitian, serta membuktikan bahwa seorang mahasiswa telah menjalani proses berpikir ilmiah. Dalam buku Writing for Academic Journals oleh Rowena Murray (2013), disebutkan bahwa penulisan ilmiah membutuhkan kombinasi antara keahlian teknis, kedisiplinan, dan motivasi internal yang kuat. Ini bukan hanya soal kepandaian, melainkan soal ketekunan dan keberanian berpikir.
Di Indonesia, penulisan karya ilmiah biasanya menjadi prasyarat kelulusan kuliah dalam bentuk skripsi, tesis, atau laporan penelitian. Namun, banyak mahasiswa yang mengeluhkan kesulitan dalam proses menulis. Menurut data dari Jurnal Pendidikan dan Pengajaran (2021), lebih dari 68% mahasiswa mengalami hambatan dalam tahap awal penulisan, terutama karena ketidaktahuan terhadap struktur dan format penulisan ilmiah. Tidak sedikit pula yang menyerah di tengah jalan karena merasa “tidak cukup pintar” atau “bukan penulis yang baik”.
Realita ini menunjukkan adanya kesenjangan antara tuntutan akademik dan kesiapan mahasiswa. Di satu sisi, mahasiswa dituntut untuk menghasilkan karya ilmiah berkualitas. Di sisi lain, pembekalan yang diberikan seringkali tidak memadai. Materi mengenai penulisan ilmiah yang diajarkan di bangku kuliah kerap bersifat teoritis dan tidak kontekstual. Akibatnya, mahasiswa merasa terasing dari proses akademik yang mereka jalani sendiri.
Tantangan ini juga berakar dari minimnya budaya literasi. Dalam World’s Most Literate Nations (2016), Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara dalam hal minat baca. Ini bukan hanya soal buku yang tidak dibaca, tetapi juga soal tidak terbiasa berpikir kritis dan reflektif, dua hal yang sangat penting dalam menulis. Di sinilah kita melihat tantangan yang lebih dalam: mahasiswa bukan hanya belum mampu menulis, tetapi juga belum merasa bahwa menulis itu penting dan bermakna.
Selain itu, tantangan penulisan karya ilmiah juga menyangkut persoalan etika. Plagiarisme, misalnya, menjadi penyakit laten dalam dunia akademik. Banyak mahasiswa yang, karena terburu-buru atau tidak paham, mengambil karya orang lain tanpa mencantumkan sumbernya. Hal ini merusak integritas akademik dan menghambat lahirnya karya orisinal dari generasi muda intelektual.
Melihat berbagai kompleksitas tersebut, artikel ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengurai tantangan-tantangan utama yang dihadapi mahasiswa dalam menulis karya ilmiah. Pembahasan ini penting agar para dosen, lembaga pendidikan, dan mahasiswa sendiri dapat mengambil peran aktif dalam memperbaiki sistem penulisan ilmiah di perguruan tinggi. Selain itu, artikel ini diharapkan dapat memberikan inspirasi dan solusi praktis bagi para mahasiswa agar tidak lagi takut, canggung, atau merasa terasing dari proses menulis ilmiah.
Dengan mengangkat topik ini, penulis juga ingin menegaskan bahwa menulis bukanlah aktivitas eksklusif yang hanya bisa dilakukan oleh “mahasiswa pintar” saja. Menulis adalah keterampilan yang bisa dilatih, diasah, dan dikuasai oleh siapa pun yang berani mencoba. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer: "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah." Maka mari menulis, meski pelan, meski jatuh bangun. Karena dari sanalah kita mengukir jejak berpikir kita di dunia ini.
Pembahasan
1. Minimnya Literasi Akademik
Literasi akademik adalah fondasi utama dalam dunia perguruan tinggi. Ia mencakup kemampuan membaca, memahami, menganalisis, serta mengekspresikan gagasan secara kritis dan sistematis dalam bentuk tulisan. Namun, literasi akademik di kalangan mahasiswa Indonesia masih terbilang lemah. Hal ini menjadi tantangan pertama yang sangat fundamental dalam proses penulisan karya ilmiah.
Dalam konteks ini, literasi tidak hanya bermakna bisa membaca, melainkan mampu memproses informasi dan mengolahnya menjadi pengetahuan baru. Mahasiswa yang literat secara akademik tahu bagaimana menelusuri informasi ilmiah dari berbagai sumber, menyaring yang relevan, dan menggunakannya untuk membangun argumen yang logis. Sayangnya, banyak mahasiswa yang belum terbiasa dengan aktivitas semacam ini.
Sebuah penelitian oleh Wibowo & Sari (2020) dalam Jurnal Pendidikan Bahasa menunjukkan bahwa sekitar 72% mahasiswa merasa kesulitan memahami teks akademik seperti jurnal, artikel ilmiah, atau buku referensi teori. Mereka lebih akrab dengan bacaan populer yang sifatnya ringan dan tidak menuntut pemikiran mendalam. Ketika harus membaca literatur ilmiah, banyak dari mereka merasa “pusing”, “tidak paham isinya”, atau bahkan menyerah di awal.
Faktor penyebab rendahnya literasi akademik mahasiswa antara lain:
-
Kurangnya kebiasaan membaca sejak dini
Budaya membaca di Indonesia masih tertinggal jauh. Berdasarkan data UNESCO (2021), minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 — artinya dari 1.000 orang, hanya satu orang yang rajin membaca. Ketika memasuki dunia kampus yang penuh tuntutan bacaan ilmiah, mahasiswa pun kelabakan. -
Kurangnya akses ke bacaan ilmiah
Tidak semua kampus memiliki fasilitas perpustakaan digital atau langganan jurnal bereputasi. Akibatnya, mahasiswa kesulitan mencari sumber yang kredibel dan terkini untuk menulis karya ilmiah. -
Ketergantungan pada Google dan ChatGPT tanpa literasi digital yang baik
Meski mahasiswa zaman sekarang akrab dengan teknologi, tidak semuanya tahu cara menggunakan mesin pencari dengan tepat. Banyak yang hanya mengandalkan sumber dari blog atau Wikipedia tanpa mengecek keabsahan informasi. Ini membuat kualitas karya ilmiah mereka rawan bias dan miskin kedalaman analisis.
Lebih dari itu, minimnya literasi akademik juga berpengaruh langsung pada kemampuan menulis. Mahasiswa yang tidak terbiasa membaca tulisan ilmiah akan kesulitan meniru gaya bahasa akademik, memahami struktur argumentasi, dan mengembangkan kerangka tulisan yang runtut. Tulisan mereka seringkali terlihat seperti karangan bebas: tidak ada tesis utama, tidak ada alur logis, dan penuh kutipan lepas yang tidak nyambung.
Sementara itu, di sisi lain, mahasiswa yang rajin membaca jurnal akan secara alami menginternalisasi gaya ilmiah: penggunaan kata-kata objektif, kutipan yang relevan, serta logika yang sistematis. Maka dari itu, penulisan ilmiah bukan hanya soal menulis, tapi juga soal membaca dan membaca dengan cara yang benar.
Lalu, apa solusi untuk masalah ini?
Pertama, kampus harus lebih serius dalam membangun budaya literasi akademik. Ini bisa dimulai dari mata kuliah Literasi Informasi yang tidak hanya teoritis, tetapi juga praktik langsung: mencari jurnal, menganalisis artikel, membuat resume kritis, dan menuliskannya kembali dalam gaya akademik.
Kedua, dosen harus menjadi role model dan fasilitator. Bukan hanya menyuruh “baca jurnal”, tetapi juga menunjukkan bagaimana cara membaca jurnal. Diskusi kelas bisa difokuskan pada bedah artikel ilmiah, bukan hanya pada materi PowerPoint.
Ketiga, pemerintah dan perpustakaan kampus harus meningkatkan akses ke sumber referensi yang berkualitas. Mahasiswa perlu didorong menggunakan portal seperti Garuda, Neliti, atau Google Scholar, bukan sekadar mengetik judul tugas di search engine biasa.
Dan terakhir — yang tak kalah penting — mahasiswa sendiri harus punya kesadaran dan kemauan untuk berubah. Menulis ilmiah memang berat, tapi bukan berarti mustahil. Kuncinya ada pada membiasakan diri: membaca satu jurnal sehari, membuat catatan, berdiskusi, dan mencoba menulis ulang dengan bahasa sendiri.
Sebagaimana dikatakan oleh Najwa Shihab:
"Literasi bukan sekadar kemampuan membaca, tetapi tentang bagaimana kita memahami dan mengubah dunia."
Begitu pula dengan literasi akademik. Ia bukan sekadar syarat skripsi, tetapi jembatan menuju kematangan intelektual. Dan jika mahasiswa tak pernah membangun kebiasaan ini, maka karya ilmiah yang dihasilkan akan kosong dari jiwa dan gagasan yang orisinal.
KESIMPULAN
Menulis karya ilmiah bukanlah perkara sepele, apalagi bagi mahasiswa yang sedang menempuh proses pendewasaan akademik. Dalam perjalanan menulis ini, mereka dihadapkan pada banyak tantangan yang saling berkaitan dan saling memperkuat — mulai dari minimnya literasi akademik, kurangnya pemahaman teknis penulisan, hingga persoalan etika dan manajemen waktu.
Pertama, literasi akademik yang rendah menjadi akar masalah utama. Ketika mahasiswa tidak terbiasa membaca jurnal atau literatur ilmiah, maka kemampuan berpikir kritis dan sistematis pun tidak terasah. Tanpa fondasi literasi yang kuat, mahasiswa cenderung kesulitan menyusun gagasan, membuat kerangka logis, dan mengolah referensi menjadi argumen yang utuh. Ini adalah tantangan intelektual yang menuntut proses pembiasaan — bukan hanya dalam membaca, tetapi juga dalam mengolah apa yang dibaca.
Kedua, mahasiswa kerap kebingungan dengan struktur dan kaidah penulisan ilmiah. Banyak yang menganggap karya ilmiah sebagai sesuatu yang kaku, membingungkan, dan “berbahasa tinggi”. Padahal, inti dari penulisan ilmiah adalah menyampaikan ide secara jernih, sistematis, dan bisa dipertanggungjawabkan. Kurangnya pelatihan teknis dalam penulisan — seperti penggunaan sitasi, parafrase, pembuatan daftar pustaka, serta penulisan abstrak — membuat proses ini terasa berat dan rumit. Dosen kerap kali hanya menuntut hasil akhir tanpa membimbing prosesnya.
Ketiga, tantangan serius datang dari isu plagiarisme. Dalam tekanan akademik, sebagian mahasiswa memilih jalan pintas: copy-paste, beli skripsi, atau sekadar menyalin dari internet. Plagiarisme menjadi gejala kegagalan sistemik — bukan hanya karena minimnya pengetahuan, tetapi juga karena kurangnya kesadaran akan etika akademik. Jika masalah ini tidak ditangani dengan serius, maka budaya ilmiah di kampus hanya akan menjadi formalitas belaka, tanpa nilai kejujuran dan integritas.
Keempat, kurangnya motivasi dan kemampuan manajemen waktu menjadi penghalang laten yang sering diremehkan. Mahasiswa tidak hanya bergulat dengan tugas kuliah, tapi juga dengan tekanan psikologis, pekerjaan sampingan, hingga distraksi digital yang membuyarkan fokus. Penulisan ilmiah, yang membutuhkan konsentrasi penuh, sering kali menjadi korban penundaan. Banyak mahasiswa yang baru “mengetik skripsi” saat tenggat waktu sudah mengetuk pintu — hasilnya pun jauh dari optimal.
Kelima, kurangnya bimbingan akademik dan akses sumber daya juga berkontribusi terhadap buruknya kualitas karya ilmiah mahasiswa. Bimbingan yang hanya formalitas, perpustakaan yang minim koleksi jurnal, dan tidak adanya komunitas akademik yang mendukung, menjadikan mahasiswa merasa berjalan sendirian dalam hutan rimba penulisan ilmiah. Bahkan, mereka kadang tidak tahu harus bertanya kepada siapa saat menemui kebuntuan.
Keenam, di era digital ini, akses informasi sebetulnya melimpah, tetapi tidak semua mahasiswa mampu memanfaatkannya secara bijak. Mesin pencari, ChatGPT, dan AI tools lainnya seharusnya menjadi alat bantu, bukan jalan pintas. Tanpa literasi digital yang sehat, mahasiswa justru terjebak dalam ilusi produktivitas: banyak mengetik, sedikit berpikir.
Daftar Referensi
-
Murray, R. (2013). Writing for Academic Journals. Open University Press.
-
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Pendidikan. Alfabeta.
-
Siregar, E. (2020). "Faktor Penyebab Rendahnya Kualitas Skripsi Mahasiswa", Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, 17(2).
-
Badan Bahasa Kemdikbud. (2016). Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI).
-
Nurhayati, D. A. W. (2021). "Plagiarisme dalam Penulisan Akademik: Kajian Etis", Jurnal Etika Pendidikan, 4(1).

Penulis Indonesiana
1 Pengikut

Tantangan Mahasiswa dalam Menulis Karya Ilmiah
Sabtu, 2 Agustus 2025 21:05 WIB
Perbandingan antara Menulis Resensi Film dan Resensi Buku Berdasarkan Pengalaman
Jumat, 11 Juli 2025 23:09 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler